Mau berbisnis? Pahami dulu "Konsep Ekonomi dalam Islam"
Assalamu'alaikum Ukhty Soleha,
Pada masa sekarang ini, banyak sekali cara untuk memperoleh rezeki. Salah satunya dalah mencari uang. Mencari uang dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melakukan kegitan ekonomi. Bagaimanakah hubungan antara Islam dan ekonomi? Silahkan baca tulisan dibawah ini, semoga bermanfaat.
A.
Pengertian Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya
hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb).
Sementara dalam fiqh Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa,
upah-mengupah, pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha
lainnya.
Dalam melakukan
transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan
pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut:
1.
Tidak
boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2.
Tidak
boleh melakukan kegiatan riba.
3.
Tidak
boleh dengan cara-cara ẓālim (aniaya).
4.
Tidak
boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5.
Tidak
boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6.
Tidak
boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B.
Macam-Macam Mu’āmalah
1.
Jual-Beli
Jual-beli
menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki
benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman
Allah Swt. berikut ini:
Artinya:
“...Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....” (Q.S.
al-Baqarah: 275).
Apabila
jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar
tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’ãn menyarankan agar dicatat, dan ada saksi.
a. Syarat-Syarat Jual-Beli
Syarat-syarat
yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut.
1)
Penjual
dan pembelinya haruslah:
a)
Ballig.
b)
Berakal
sehat.
c)
Atas
kehendak sendiri.
2)
Uang
dan barangnya haruslah:
a)
Halal
dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala,
termasuk lemak bangkai tersebut.
b)
Bermanfaat.
Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta
atau pemboros.
c)
Keadaan
barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat
diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang
dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya.
d)
Keadaan
barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e)
Milik
sendiri.
3)
Ijab
Qobul
Seperti
pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.”Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka
sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)
b. Khiyār
1)
Pengertian
Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan antara
meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyār
karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur
paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya,
sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya.
Rasulullah saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama
keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan
keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila
keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus
keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2)
Macam-Macam
Khiyār
a)
Khiyār Majelis, adalah selama
penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya
transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan
jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh
memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
b)
Khiyār Syarat, adalah khiyar
yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya
jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya
penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya
pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status
barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyār) tidak ada
pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi.
Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak
penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau
boleh khiyār pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR.
Baihaqi dan Ibnu Majah).
c)
Khiyār Aibi
(cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang
yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai
barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.
c. Ribā
1)
Pengertian
Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih
atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan,
perak, emas, dan pinjam-meminjam.
Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat
Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam
hadis yang diriwayatkan bahwa, "Rasulullah mengutuk orang yang
mengambil ribā, orang yang mewakilkan,orang yang mencatat, dan orang yang
menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat
dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga.
Guna
menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas
dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a)
sama
timbangan ukurannya.
b)
dilakukan
serah terima saat itu juga.
c)
secara
tunai.
Namun tetap harus
secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan
jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan
jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain.
2)
Macam-Macam
Ribā
a)
Ribā Faḍli, adalah
pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas
22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram.
Kelebihannya itulah yang termasuk riba.
b)
Ribā Qorḍi, adalah
pinjammeminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya.
Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia
mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba.
c)
Ribā Yādi, adalah akad
jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli
berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang
masih di dalam tanah.
d)
Ribā Nasi’ah, adalah akad
jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli
buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah
besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau,
tetapi diserahkan setelah panen.
2.
Utang-piutang
a. Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang
adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan
dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu saja dengan tidak mengubah keadaannya.
Misalnya utang Rp100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00.
Memberi utang kepada seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh
agama.
b. Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang ada tiga, yaitu:
1)
yang
berpiutang dan yang berutang
2)
ada
harta atau barang
3)
Lafadz
kesepakatan. Misal: “Saya utangkan ini kepadamu.” Yang berutang menjawab, “Ya, saya utang dulu, beberapa hari
lagi (sebutkan dengan jelas) atau jika sudah punya akan saya lunasi.”
Untuk
menghindari keributan di belakang hari, Allah Swt. menyarankan agar kita
mencatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan.
Jika orang yang
berutang tidak dapat melunasi tepat pada waktunya karena kesulitan, Allah Swt.
menganjurkan memberinya kelonggaran. “Dan jika (orang berutang itu) dalam
kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan
jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S.
al-Baqarah: 280).
Apabila orang
membayar utangnya dengan memberikan kelebihan atas kemauannya sendiri tanpa
perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut halal bagi yang berpiutang, dan
merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.” (sepakat
ahli hadis). Abu Hurairah ra. berkata, ”Rasulullah saw. telah berutang hewan,
kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau
utang itu, dan Rasulullah saw. Bersabda ,”Orang yang paling baik di antara kamu
ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang
berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan
telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan
tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap
piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam ribā.” (HR. Baihaqi).
3.
Sewa-menyewa
a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa
dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang
diberikannya. Jasa di sini berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat
tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
“...dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut...” (Q.S. al-Baqarah: 233).
Artinya:
“...kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada
mereka...”(Q.S. aṭ-Ṭalāq: 6)
b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1)
Yang
menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan berakal sehat.
2)
Sewa-menyewa
dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa.
3)
Barang
tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
4)
Ditentukan
barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5)
Manfaat
yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua
belah pihak. Misalnya, ada orang akan menyewa sebuah rumah. Si penyewa harus
menerangkan secara jelas kepada pihak yang menyewakan, apakah rumah tersebut
mau ditempati atau dijadikan gudang. Dengan demikian, si pemilik rumah akan
mempertimbangkan boleh atau tidak disewa. Sebab risiko kerusakan rumah antara
dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai gudang.
Demikian pula jika barang yang disewakan itu mobil, harus dijelaskan
dipergunakan untuk apa saja.
6)
Berapa
lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas.
7)
Harga
sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati
bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah
diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1)
Jenis
pekerjaan dan jam kerjanya.
2)
Berapa
lama masa kerja.
3)
Berapa
gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan ataukah
borongan?
4)
Tunjangan-tunjangan
seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain, kalau ada.
C. Syirkah
Secara bahasa,
kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga
tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
Menurut istilah, syirkah adalah
suatu akad yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk
melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan.
a. Rukun dan Syarat Syirkah
Adapun rukun syirkah secara
garis besar ada tiga, yaitu seperti berikut:
1)
Dua
belah pihak yang berakad (‘aqidani).
Syarat orang yang melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf (pengelolaan
harta).
2)
Objek
akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan atau modal. Adapun syarat pekerjaan atau benda
yang dikelola dalam syirkah harus
halal dan diperbolehkan dalam agama dan pengelolaannya dapat diwakilkan.
3)
Akad
atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b. Macam-Macam Syirkah
Syirkah dibagi menjadi
beberapa macam, yaitu syirkah `inān, syirkah ‘abdān, syirkah wujūh, dan syirkah
mufāwaḍah.
1)
Syirkah ‘Inān
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal
(mal). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
Contoh syirkah ‘inān: A dan B sarjana teknik komputer. A dan B sepakat menjalankan
bisnis perakitan komputer dengan membuka pusat service dan penjualan komponen komputer. Masing-masing memberikan
kontribusi modal sebesar Rp10 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah jenis
ini, modalnya disyaratkan harus berupa uang. Sementara barang seperti rumah
atau mobil yang menjadi fasilitas tidak boleh dijadikan modal, kecuali jika
barang tersebut dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh masing-masing syārik (mitra usaha) berdasarkan porsi modal. Jika masing-masing modalnya
50%, masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
2)
Syirkah ‘Abdān
Syirkah ‘abdān adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi
kerja (amal), tanpa kontribusi modal (amal).
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis
naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga
disebut syirkah ‘amal.
Contohnya: A
dan B samasama nelayan dan bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka
juga sepakat apabila memperoleh ikan akan dijual dan hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh
berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdān terdiri atas beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun,
disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal dan tidak
boleh berupa pekerjaan haram, misalnya berburu anjing. Keuntungan yang
diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan, porsinya boleh sama atau tidak sama
di antara syarik (mitra usaha).
3)
Syirkah Wujūh
Syirkah wujūh adalah kerja
sama karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh)
seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah
antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak
ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
Contohnya: A
dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang secara kredit. A dan B
bersepakat bahwa masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu,
keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua. Sementara harga
pokoknya dikembalikan kepada pedagang. Syirkah wujūh ini hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdān
4)
Syirkah Mufāwaḍah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah
dalam
pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah
berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inān, atau
ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
Contohnya: A
adalah pemodal, berkontribusi modal kepada B dan C. Kemudian, B dan C juga
sepakat untuk berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang terjadi
adalah syirkah ‘abdān, yaitu ketika B
dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan kontribusi kerja saja.
Namun, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud muḍārabah. Di
sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan kontribusi modal, di samping kontribusi
kerja, berarti terwujud syirkah ‘inān di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujūh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah dan
disebut syirkah mufāwaḍah.
5)
Muḍārabah
Muḍārabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana pihak pertama
menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi pengelola atau
pengusaha (muḍarrib). Keuntungan usaha secara muḍārabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, namun apabila mengalami kerugian,
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian
si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
Kontrak bagi
hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi keuntungan, pembagiannya akan
mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan, kontrak bagi hasilnya adalah
60:40, di mana pengelola mendapatkan 60% dari keuntungan, pemilik modal
mendapat 40% dari keuntungan.
Muḍārabah
sendiri dibagi menjadi dua, yaitu muḍārabah muṭlaqah dan muḍārabah muqayyadah.
Muḍārabah muṭlaqah merupakan bentuk kerja sama antara pemilik modal dan
pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu, dan daerah bisnis. Muḍārabah muqayyadah adalah kebalikan dari muḍārabah
muṭlaqah, yakni usaha yang akan dijalankan dengan dibatasi oleh jenis
usaha, waktu, atau tempat usaha.
6)
Musāqah, Muzāra’ah,
dan Mukhābarah
a) Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik
kebun dan petani di mana sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar
dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut persentase yang
ditentukan pada waktu akad.
Konsep musāqah merupakan konsep kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua
belah pihak (simbiosis mutualisme). Tidak jarang para pemilik lahan tidak
memiliki waktu luang untuk merawat perkebunannya, sementara di pihak lain ada
petani yang memiliki banyak waktu luang namun tidak memiliki lahan yang bisa
digarap. Dengan adanya sistem kerja sama musāqah, setiap pihak akan sama-sama mendapatkan manfaat.
b) Muzāra’ah dan Mukhābarah
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang
pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya
berasal dari petani. Sementara mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang
pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya
berasal dari pemilik lahan. Muzāra’ah memang sering kali diidentikkan
dengan mukhābarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki sedikit
perbedaan. Apabila muzāra’ah, benihnya berasal dari petani penggarap,
sedangkan mukhābarah benihnya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan
bentuk kerja sama pengolahan pertanian
antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa Rasulullah
saw. Dalam hal ini, pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan pembagian persentase tertentu dari hasil
panen. Di Indonesia, khususnya di kawasan pedesaan, kedua model penggarapan
tanah itu sama-sama dipraktikkan oleh masyarakat petani. Landasan syariahnya
terdapat dalam hadis dan ijma’ ulama.
D. Perbankan
1. Pengertian Perbankan
Bank adalah
sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun dana masyarakat dan
disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga. Dengan demikian, hakikat
dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan, baik dalam
menyimpan maupun meminjamkan, baik berupa uang atau barang berharga lainnya
dengan imbalan bunga yang harus dibayarkan oleh masyarakat pengguna jasa bank.
Bank dilihat
dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu seperti
berikut:
a. Bank Konvensional
Bank
konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan
kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha, guna mengembangkan
usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank Islam atau Bank Syari’ah
Bank Islam atau
bank syari’ah ialah
bank yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada
pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah menggunakan
beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut:
1)
Muḍārabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan
perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan persentase
sesuai perjanjian. Dalam sistem muḍārabah, pihak bank sama sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
2)
Musyārakah, yakni kerja
sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama memiliki
saham. Oleh karena itu, kedua belah pihak mengelola usahanya secara
bersama-sama dan menanggung untung ruginya secara bersama-sama pula.
3)
Wadi’ah, yakni jasa
penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga. Amanah dari pihak
nasabah berupa uang atau barang titipan yang telah disebutkan di atas
dipelihara dengan baik oleh pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan
dana yang dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktuwaktu
pemiliknya memerlukan.
4)
Qarḍul hasān, yakni
pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat.
Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo.
Biasanya layanan ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di
bank tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
5)
Murābahah, yaitu suatu
istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di
mana penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan
ditambah jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi. Di sini, penjual
mengungkapkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang
hendak diambilnya. Pembayaran dapat dilakukan saat penyerahan barang atau
ditetapkan pada tanggal tertentu yang disepakati. Dalam hal ini, bank
membelikan atau menyediakan barang yang diperlukan pengusaha untuk dijual lagi
dan bank meminta tambahan harga atas harga pembeliannya. Namun demikian, pihak
bank harus secara jujur menginformasikan harga pembelian yang sebenarnya.
E. Asuransi Syari’ah
1. Prinsip-Prinsip Asuransi Syari’ah
Asuransi
berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’m³n yang
berarti pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari
perasaan takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan
tertanggung (geasrurrerde)
disebut musta’min.
Dalam Islam,
asuransi merupakan bagian dari muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi
menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi
tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pada umumnya, para ulama
berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah dibolehkan dan asuransi
konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam
ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim yang didasarkan nilai
tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya setiap jiwa tidak memiliki
daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah Swt., baik berupa kematian,
kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang lain. Untuk menghadapi
berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk menghadapinya. Pertama,
menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain. Ketiga,
mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran
Islam, musibah bukanlah permasalahan individual, melainkan masalah kelompok
walaupun musibah ini hanya menimpa individu tertentu. Apalagi jika musibah itu
mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi atau banjir. Berdasarkan ajaran
inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan semangat ajaran tersebut.
Allah Swt.
menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:
Artinya:
“...dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...” (Q.S. al-Māidah: 2).
Banyak pula hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan umat Islam
untuk saling melindungi saudaranya dalam menghadapi kesusahan. Berdasarkan ayat
al-Qur’ān dan riwayat hadis, dapat dipahami bahwa musibah ataupun risiko
kerugian akibat musibah wajib ditanggung bersama. Bukan setiap individu
menanggungnya sendiri-sendiri dan tidak pula dialihkan ke pihak lain. Prinsip
menanggung musibah secara bersama-sama inilah yang sesungguhnya esensi dari
asuransi syari’ah.
2. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Tentu saja
prinsip tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional,
yang menggunakan prinsip transfer risiko. Seseorang membayar sejumlah premi
untuk mengalihkan risiko yang tidak mampu dia pikul kepada perusahaan asuransi.
Dengan kata lain, telah terjadi ‘jual-beli’ atas risiko kerugian yang belum
pasti terjadi. Di sinilah cacat perjanjian asuransi konvensional. Sebab akad
dalam Islam mensyaratkan adanya sesuatu yang bersifat pasti, apakah itu
berbentuk barang ataupun jasa.
Perbedaan yang
lain, pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana peserta tidak
dapat melanjutkan pembayaran premi ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa
jatuh tempo. Dalam konsep asuransi syari’ah, mekanismenya tidak mengenal dana
hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal
ingin mengundurkan diri, dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat
diambil kembali, kecuali sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana
tabarru’ (sumbangan) yang tidak dapat diambil.
Setidaknya, ada
manfaat yang bisa diambil kaum muslimin dengan terlibat dalam asuransi
syari’ah, di antaranya bisa menjadi alternatif perlindungan yang sesuai dengan
hukum Islam. Produk ini juga bisa menjadi pilihan bagi pemeluk agama lain yang
memandang konsep syariah lebih adil bagi mereka karena syariah merupakan sebuah
prinsip yang bersifat universal.
Untuk
pengaturan asuransi di Indonesia dapat dipedomani Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.Sumber : Materi FQ "Prinsip dan Praktik Ekonomi Islam"
Komentar
Posting Komentar